Translate

Jumat, 17 Agustus 2018

Kotak Makan dan Jurang Kemiskinan

15 tahun yang lalu mungkin belum terpikirkan jika akan ada seperangkat wadah plastik yang begitu dipuja-puja, digandrungi dan dielu-elukan oleh emak-emak, apalagi kalau bukan brand wadah plastik ternama "Tupperware". Sekarang, Tupperware bagi kalangan ibu-ibu adalah sebuah investasi karena katanya awet dengan garansi seumur hidup dan juga merupakan sebuah bentuk eksistensi karena emak-emak akan merasa emak seutuhnya jika sudah memiliki sebuah Tupperware meski beli second, meski cuma 1 biji.

Ah bodo amat dengan Tupperware, saya tidak pernah beli karena saya penganut madzhab irit fid dunya wal akhirot. Ada kenangan lucu di masa kecil saya tentang kotak nasi. Saya lahir dari keluarga yang terbilang pas-pas an bahkan mendekati miskin, jangankan kepikiran beli tupperware, beli kotak makan yang 10.000 dapat 3 saja eman banget.

Ketika saya menginjak sekolah TK, SD hingga SMP, saya bisa melihat kemampuan ekonomi teman sekolah saya berdasarkan kotak makan yang dibawanya. Dulu budaya "membawa ambeng" ke sekolah masih lumrah, kalau sekarang guru dan wali murid nggak mau repot, pasti langsung order catering. Kalau dulu di era saya, setiap ada acara atau peringatan hari-hari besar Islam saya dan teman-teman sekolah disuruh membawa ambeng ke sekolah dan dimakan bersama-sama di kelas.

Dari kegiatan membawa ambeng secara rutin itulah saya menganalisis kemampuan ekonomi teman saya. Kategori orang kaya selalu membawa kotak makan dengan model bertingkat, kalau orang ndeso bilangnya model rantang, tapi rantang mereka berbeda modelnya. Dengan bentuk kotak imut warna warni dengan susun 3 biasanya. Nanti tingkat pertama isinya nasi, tingkat kedua isinya lauk yang berminyak, tingkat ketiga diisi lauk yang garingan. Seperti itu kotak makan orang kaya, bahkan botol minum mereka pun lucu-lucu, ada yang model telepon genggam, ada yang seperti botol aqua tapi ketika dibuka tutupnya masih ada tutup kedua dan itu hanya dimiliki orang-orang kaya. Kami yang baru pertama lihat cuma bisa ndoweh lihat model botol kinuman ajaib macam itu. Hehe...

Untuk orang dengan kemampuan ekonomi menengah, kotak makan mereka cukup 1 wadah, tak bertingkat tapi bersekat. Jadi dalam satu kotak disekat menjadi 3 bagian, bagian paling luas untuk nasi, yang agak kecil untuk lauk, yang lebih kecil lagi tempat sambel. Kadang mereka menutup kotak makan dengan bantuan karet gelang, karena kotak makan jenis ini tutupnya lower alias gampang terbuka, jadi harus ditali karet gelang. Botol minum mereka kadang ada yang botol aqua bekas, atau memang membawa aqua botol yang baru beli. Masih elegan lah ya.

Nah untuk yang golongan ketiga atau golongan orang miskin dan tidak mampu, kotak makannya adalah jenis rantang yang biasa dipakai orang tua mereka untuk ngirim makanan orang yang di sawah. Dan di golongan inilah saya berada. Ya, orang tua saya tidak pernah mau membelikan saya kotak makan khusus untuk membawa ambeng ke sekolah. Entah apa alasannya selain tidak mampu membelinya. Saya terbiasa membawa ambeng dengan rantang yang berwarna perak, tahu nggak? Motifnya bunga-bunga dan bunyinya kemrincing kalau untuk makan. Kalau tidak ada, saya memakai rantang dari hasil bapak saya selamatan, yang berbahan plastik dan warna warni itu. Saya sudah sering merengek pada ibu saya untuk minta dibelikan kotak makan, tapi naas beliau tak pernah mau menuruti. Mungkin alasannya daripada uang untuk beli kotak makan yang cuma bisa dipakai Yastin, mending uang untuk beli stok bumbu dapur yang bisa dimakan orang satu rumah selama sebulan. Dan saya sering merasa malu ketika momen bawa ambeng ke sekolah, saya inginnya budaya membawa ambeng dihapus saja. Karena saya malu terus-terusan pakai rantang. Tahu sendiri kan kalau rantang tidak ada sekatnya, jadi ambeng saya dalam satu wadah isinya campur aduk. Nasi di tingkatan paling bawah, atasnya lauk dan sambel, lauknya kalau ada mie dan telur ya jadi satu telur dan mienya. Karena saya membawa tas dan nggak mungkin rantang saya cangking pakai tangan ke sekolah, rantang pasti saya masukkan ke dalam tas. Ketika rantang hendak masuk dalam tas, tutupnya harus dikareti, dibungkus plastik rapat-rapat, baru bisa masuk ke dalam tas tanpa ada rasa takut nasi tumpah berceceran campur buku pelajaran. Hahahha...

Ibuku yang kadang peka terhadap perasaan anaknya yang malu membawa rantang ke sekolah pun mencoba untuk membesarkan hati saya. Beliau meawarkan solusi yang dianggapnya efektif dan efisien, "Tin, bagaimana kalau ambengnya dibungkus kertas atau daun pisang saja? Biar nanti selesai makan langsung buang ndak perlu berat-berat bawa pulang lagi." Demi menghargai usulan solutif ibu saya, saya pura-pura berfikir sebentar dan menimbang usulannya. Padahal sebenarnya saya langsung menolak, tanpa pikir panjang. Tak lama saya jawab, "Bu, jangan pakai daun/kertas. Sama Ibu Guru diharuskan memakai kotak makan lho." Ini jelas bohong. Hehehe

Selain kotak makan, satu lagi yang juga sama mengenaskannya, yaitu botol minum. Kalean pasti sudah menebaknya, botol minum yang saya pakai adalah botol aqua bekas yang sudah berkali-kali pakai. Warnanya sudah tidak bening lagi, sudah mendekati buthek atau keruh. Dulu jaman saya SD belum terkuak fakta berbahaya tentang "Bahaya Minum Menggunakan Botol Air Mineral Bekas", jadi ya kami keluarga misqien ini woles-woles saja jika harus puluhan kali mengisi ulang 1 botol minuman bekas.

Hal tersebut di atas membuat saya yang sekarang, umur 25 tahun yang bekerja sebagai kasir sebuah toko, merasa sangat bersyukur karena ditempatkan dalam kondisi yang lebih baik dari kondisi saya dulu. Saya sudah mampu membeli kotak makan khusus bukan rantang untuk ngirim orang ke sawah, meski bukan merk Tupperware. Sebenarnya kalau disuruh beli Tupperware saya mampu beli, tapi saya sayang saja jika uang ratusan ribu dikeluarkan hanya demi punya wadah plastik bermerk. Sampai sekarang, kalau melihat kotak nasi saya selalu ingat masa SD SMP dulu. Lagi-lagi saya dibuat bersyukr atas kondisi memprihatinkan saya dulu. Maka nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan? Kata teman saya, sebut saja Angelina, "masa memprihatinkan dulu mampu membuat kita lebih menghargai yang namanya hidup dan perjuangan." Tapi kalau menurut saya nggak begitu, "Masa Memprihatinkan dulu mampu membuat kita lebih menghargai uang sehingga lebih pelit untuk menjajakan uang demi kebutuhan sekunder yang kurang jelas macam Tupperware. Hahahha...

Korban yang Malang dan Hati yang Lapang

Hari itu menunjukkan pukul 10.25 WITA. Pada waktu itu seperti biasanya saya menjalani aktivitas rutin yaitu berbagi ilmu kepada anak-anak. Hari itu adalah hari selasa, dimana hari yang super menguras tenaga dan pikiran. Karena selain jam mengajar yang fullday, hari itu juga saya harus menghadapi anak-anak yang yaaah lumayan aktif dan energik. Sehingga saya pun juga harus ikutan aktif (biar kayak iklan Hilo yang tumbuh aktif hehehe).
Meskipun terkadang di hari itu saya merasa tidak bisa melaluinya, akan tetapi saya mencoba untuk mengawali hari dengan niat tulus dan semangat. Karena jika kita mengawali suatu aktivitas dengan penuh semangat dan niat yang tulus, maka kita akan dapat melalui hari itu dengan mudah dan tanpa terasa berlalu dengan cepat. Tetapi jika mengawali aktivitas dengan hati yang galau-galau gimana gitu, maka hari itu akan terasa berat dan sulit untuk dilalui.

Oke kembali lagi ke tujuan awal. Nah pas waktu yang sudah saya sebutkan tadi (10.25 WITA), saya telah memberikan anak-anak tugas berat bagi mereka sih, kalau saya yaa ringan-ringan aja kayak kerupuk hehehe. Tugasnya adalah menulis tentang materi hari itu. Dan seperti biasa setelah mereka menulis, mereka harus minta tanda tangan dari gurunya sebagai bentuk apresiasi atas pekerjaan mereka. Yaa hanya di saat seperti itulah tanda tangan saya laris, ludes seperti baju yang lagi diskon di Ramayana.

Karena banyaknya permintaan, akhirnya saya mensiasati tanda tangan saya dengan menggunakan stempel yang berisi tanda tangan saya. Dan kebetulan stempel yang miliki ini bentuknya unik dan lucu. Bentuknya itu adalah salah satu karakter kartun yang sudah terkenal, yaitu "Stitch". Tau dong apa itu "Stitch"?
Ya "Stitch" karakter kartun alien gitu, seram tapi lucu. Nah karena bentuk stempel ini unik dan lucu, maka anak-anak sangat terpancing untuk selalu memainkannya. Demi membahagiakannya, saya rela si "Stitch" pindah-pindah tangan karena pada ingin memegangnya. Saking asiknya mereka mainin, tanpa saya sadari dan itu semua di luar dugaan saya si "Stitch" mengalami tragedi kecelakaan yaitu dia terlepas dari tempatnya berpijak. Ketika melihat kejadian itu saya hanya bisa melongo terdiam tanpa kata (dalam hati ini teriak Oooooooohhh Nooooooo My Stiiiiiiitch)

Tapi apa boleh dikata ibarat peribahasa nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa saya lakukan. Saya hanya bisa pasrah dan berserah diri. Dengan tangan gemetar saya mengambil si korban dan menyimpannya dengan aman. Dan si pelaku itu pergi begitu saja tanpa ada kata maaf, sedihnya hati ini,, piluuuuuu.
Setelah tragedi itu, ada seorang anak yang maju dan ingin meminta tanda tangan. Ketika ia melihat si "Stitch" sudah tidak ada dia bertanya "Aw mana bonekanya, ustazah?" teman di sampingnya menjawab "Lepas". Dia pun bertanya lagi "Kok bisa? siapa yang kasih lepas? Ustazah tak marah kah?" temannya menjawab "Si C***a kasih lepas, ustazah tak marah". Lalu dia menyahut "Oo iya ya ustazah kan orangnya sabar, jadi tak mungkin marah".

Ketika mendengar perkataan itu saya pun sadar bahwa segala apapun yang terjadi di sekitar kita itu di luar dugaan dan kuasa kita. Ketika itu terjadi yang bisa kita lakukan adalah bersabar dan menunggu pergantian saat-saat yang indah. Dan memang betul, hal indah yang saya dapatkan dari tragedi itu adalah si "Stitch" kini selalu berada dimana pun saya pergi, karena kini ia menjadi gantungan yang menggantung di resleting tasku hehehe.

Ditulis oleh Ustadzah baik hati nan tidak sombong, "Wahyu Nur Chayati"